Rabu, 09 Desember 2015

WAWANCARA DALAM RISET KOMUNIKASI


                Riset diartikan sebagai penelitian secara umum. Kata riset berasal dari Bahasa Latin, yaitu “re”, yang berarti lagi, dan ’‘cercier“, yang berarti mencari. Secara harafiah, riset dapat dikatakan sebagai pencarian ulang terhadap sesuatu. Riset komunikasi berarti mencari atau menemukan sesuatu yang baru dalam ranah komunikasi. Dalam suatu riset, baik kualitatif maupun kuantitatif, diperlukan suatu metode yang digunakan guna mendapatkan data. Salah satu metode yang sering digunakan oleh para peneliti adalah metode wawancara.
                Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data guna memperoleh informasi yang didapatkan langsung dari sumbernya. Dalam Bahasa Inggris, wawancara disebut sebagai ‘‘interview“, yang berarti percakapan antara dua orang atau lebih. Wawancara juga dapat dikatakan sebagai perbincangan atau percakapan antara pewawancara dengan narasumber atau responden guna menggali informasi mengenai suatu topik tertentu. Dalam wawancara, peneliti terjun ke lapangan atau masyarakat, mengumpulkan data dengan berbicara atau bercakap-cakap dengan masyarakat secara langsung.
                Wawancara bertujuan utama untuk menggali informasi serta mendapatkan data dari responden. Fungsi wawancara dalam riset komunikasi digolongkan menjadi 3, yaitu sebagai metode primer, metode sekunder, dan kriterium. Wawancara sebagai metode primer berarti wawancara dilakukan sebagai cara utama untuk mengumpulkan data. Hal ini berarti memang metode wawancaralah yang dipilih sebagai metode dalam menggali informasi sebagai data riset atau penelitian, walaupun ada banyak metode lainnya yang sebenarnya dapat digunakan. Kemudian, sebagai metode sekunder, wawancara dilakukan ketika tidak ada metode atau cara lain yang dapat digunakan untuk memperoleh data. Hal ini berarti wawancara dilakukan karena terpaksa, sebagai cara atau langkah satu-satunya dalam mengumpulkan data. Sedangkan, wawancara sebagai kriterium berarti wawancara dilakukan dan digunakan sebagai cara untuk mengoreksi kebenaran suatu kumpulan data yang telah diperoleh dari metode lain. Dalam fungsinya sebagai kriterium, wawancara digunakan sebagai metode akhir, yakni dalam verifikasi data, apakah data yang didapat dengan cara metode lain tersebut sudah relevan ataukah tidak.
                Berdasarkan jumlah responden, wawancara dikelompokkan menjadi wawancara kelompok dan pribadi. Wawancara pribadi berarti pewawancara hanya menggali informasi dari satu orang narasumber saja. Sedangkan wawancara kelompok, berarti pewawancara menggali informasi dari dua atau lebih narasumber secara bersamaan. Dasar dari pemilihan jenis wawancara ini didasarkan kepada tujuan awal dari penelitian atau riset, dalam hal ini adalah riset komunikasi. Kebanyakan peneliti menggunakan wawancara pribadi untuk memperoleh data guna risetnya, namun wawancara pribadi tersebut dilakukan kepada banyak responden.
                Dalam riset komunikasi yang menggunakan metode wawancara, secara umum ada tiga tahap dalam teknik wawancara. Tiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, pelaksanaan, dan paska wawancara. Setiap peneliti yang menggunakan metode wawancara guna mendapatkan data harus memahami, memperhatikan, dan melakukan ketiga tahapan dalam teknik wawancara ini guna keefektifan dan keefisienan. Ketiga tahap ini runtut, tidak dapat dibolak-balik atau dilewatkan satupun. Dengan tidak melakukan ketiga tahap ini secara lengkap, maka proses wawancara tidak akan berjalan secara lancar, efektif, dan efisien. Misalkan saja, seseorang pewawancara atau peneliti mengabaikan tahap persiapan, maka tahap pelaksanaan wawancara pun akan terganggu. Bisa jadi, pelaksaan wawancara akan kacau, karena pewawancara akan blank karena tidak mempersiapkan apapun, khususnya pertanyaan.
                Pada tahap persiapan wawancara, peneliti sebagai pewawancara, menentukan topik atau  tema wawancara. Dimana dalam riset komunikasi, topik atau tema wawancara ini ditentukan dari topik penelitian dan data apa yang ingin didapatkan dalam wawancara untuk menunjang pelaksanaan penelitian yang dilakukan. Setelah menentukan topik wawancara, peneliti diharapkan memahami masalah yang akan ditanyakannya dalam wawancara sekaligus peneliti mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Kemudian, peneliti menentukan siapa yang akan menjadi narasumbernya. Narasumber adalah orang-orang yang berkaitan dan mengerti dengan baik mengenai permasalahan atau topik yang diangkat. Setelah menentukan narasumber, peneliti menghubungi narasumber dan membuat janji dengan narasumber, atau jika narasumber tidak ditentukan secara spesifik, misalkan narasumber adalah warga di suatu desa, peneliti dapat langsung mendatangi desa tersebut dan melakukan wawancara kepada warga. Namun, sekali lagi, pewawancara perlu mempersiapkan topik dan pertanyaan yang akan diajukan.
                Dalam tahap penyusunan pertanyaan dalam wawancara ini, pertanyaan dapat digolongkan menjadi pertanyaan terbuka maupun pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka memiliki jawaban dengan pola penjelasan, jadi narasumber menjawab pertanyaan tersebut dengan menjelaskannya. Pertanyaan tertutup memiliki jawaban yang lebih sempit, misalkan “ya” atau “tidak, “sudah” atau “belum”, dan sebagainya. Masing-masing dari jenis pertanyaan tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Pertanyaan terbuka dapat membuat narasumber bercerita dan menjelaskan tentang topik yang dimaksud dengan sedemikian rupa. Namun, kekurangannya adalah pewawancara atau peneliti tidak bisa mengontrol narasumber, bisa saja narasumber bertele-tele dan menyimpang dari topik wawancara. Sedangkan pertanyaan tertutup memiliki kelebihan yakni jawaban dari narasumber singkat, padat, namun terbatas. Dengan mengajukan pertanyaan tertutup, sejujurnya pewawancara dapat menghemat waktu, langsung kepada sasaran jawaban yang diinginkan oleh pewawancara atau peneliti, dan pewawancara dapat mengontrol jalannya situasi. Namun, tidak akan terbangun kedekatan antara pewawancara dan narasumber, selain itu biasanya pertanyaan tertutup akan membuat responden jenuh dan jawaban yang diberikan kurang detail. Pemilihan penggunaan jenis pertanyaan terbuka atau tertutup kembali lagi kepada peneliti atau pewawancara, kembali disesuaikan dengan tujuan dan maksud dari wawancara, data apa yang akan diharapkan dari wawancara, yang sekiranya membantu pelaksanaan penelitian.
                Setelah tahap persiapan, berikutnya adalah tahap pelaksanaan. Tahap pelaksanan ini adalah tahapan dimana peneliti bertemu dengan narasumber. Ketika bertemu dengan narasumber dan melakukan wawancara, peneliti disarankan untuk memakai pakaian yang sopan dan rapi, menggunakan bahasa yang komunikatif, yaitu jelas dan dapat dimengerti oleh narasumber. Hal awal yang dilakukan oleh peneliti untuk membuka sesi wawancara adalah perkenalan diri dan penyampaian maksud atau tujuan dari wawancara tersebut. Peneliti juga dapat menanyakan dan mencatat identitas dari narasumber jika diperlukan. Peneliti juga diharapkan dapat menciptakan keakraban dengan narasumber, sehingga narasumber dapat merasa nyaman. Kemudian, peneliti selaku pewawancara dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan kepada narasumber. Peneliti juga disarankan untuk merekam proses wawancara menggunakan alat perekam atau mencatat hal-hal pokok sebagai hasil wawancara yang didapat dari jawaban narasumber.
                Kemudian, tahap yang terakhir adalah tahap paska wawancara. Dalam tahap ini, peneliti yang telah melakukan wawancara dan mendapatkan jawaban dari wawancara tersebut, menganalisis hasil wawancara. Guna dari catatan atau rekaman yang digunakan saat wawancara adalah untuk membantu dan memudahkan pewawancara atau peneliti dalam merangkum hasil wawancara dan membuatnya menjadi data dalam riset komunikasi. Kemudian, data tersebut diinterpretasikan dalam tahapan riset komunikasi ini.
                Dalam tahapan wawancara, ada beberapa sikap yang perlu diperhatikan oleh pewawancara, diantaranya adalah memfokuskan diri pada lawan bicara. Dengan ini, lawan bicara, yaitu narasumber, dapat merasa nyaman dan dihargai oleh pewawancara. Selain itu, pewawancara fokus kepada topik pembicaraan guna menjalankan wawancara secara efektif dan efisien. Pewawancara juga harus sabar terhadap narasumber jika narasumber keluar dari topik pembicaraan, sebaliknya, pewawancara harus mengembalikan pembicaraan kepada topik yang sudah ditentukan. Jika ada hal-hal kurang jelas, pewawancara dapat melakukan verifikasi kembali. Hal ini dilakukan supaya data yang didapatkan benar-benar valid. Volume dan intonasi suara dari pewawancara harus diperhatikan pula. Hal ini dimaksudkan supaya narasumber nyaman dalam proses wawancara. Volume yang kurang keras atau terlalu keras, serta intonasi yang tidak jelas dapat mengganggu dan menurunkan efetifitas dalam proses wawancara. Setelah melakukan proses wawancara, pewawancara juga harus mengucapkan terimakasih kepada narasumber. Alangkah lebih baik juga jika pewawancara memberikan kompensasi atau hadiah kepada narasumber atas informasi yang telah mereka berikan, kesediaan, dan waktu yang mereka luangkan.
                Dalam proses wawancara terkadang juga dijumpai kesalahan interpretasi. Kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan presepsi dari narasumber dan pewawancara. Ketika narasumber memberikan jawabannya, bisa saja pewawancara tidak menangkap secara total dan jeli apa yang menjadi maksud dari narasumber. Hal ini biasanya terjadi ketika pewawancara menanyakan pertanyaan terbuka dan narasumber menjawabnya lebih dari satu ide pokok. Kesalahan lain dapat disebabkan karena pengajuan pertanyaan tambahan oleh pewawancara atau peneliti dalam suatu riset karena “mempertanyakan” maksud dari jawaban narasumber sebelumnya sehingga pembicaraan menjadi tidak terkontrol dan meluap ke topik lain. Selain itu, kesalahan juga dapat disebabkan karena responden yang tidak kompeten. Responden yang tidak kompeten maksudnya adalah responden yang asal jawab, menjawab dengan tidak benar dan tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Jika pewawancara atau peneliti menemui responden yang demikian, alangkah lebih baik jika pewawancara mengakhiri proses wawancara. Kesalahan-kesalahan dalam proses wawancara sebaiknya diminimalisir dan dihindari, sebab kesalahan-kesalahan pasti akan berdampak dan mengganggu proses berjalannya riset komunikasi.
                Wawancara adalah salah satu metode yang dapat dilakukan guna pengumpulkan data dalam suatu riset. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam proses wawancara. Pewawancara yang baik hendaknya memperhatikan etika wawancara, sehingga proses wawancara dan pengumpulan informasi dapat berjalan sesuai dengan keinginan yang diharapkan dan tujuan dari riset komunikasipun dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Malang: Kencana Prenada Media Group.
Hadi, Ido Priyono. 2001. Wawancara. http://faculty.petra.ac.id/ido/courses/11_wawancara.pdf. Di akses tanggal 7 Desember 2015
Indrawati., Damayanti, Lira Fesia. 2010. Psikodiagnostik III : Interview. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195010101980022.SITI_WURYAN_INDRAWATI/PD3_wawancara.pdf. Diakses tanggal 7 Desember 2015.
Farouk.2004. Praktik Ilmu Komunikasi. Teraju



Tidak ada komentar:

Posting Komentar