Minggu, 16 Desember 2012

MY BOY, MY DOCTOR, MY PRINCE

Seorang duta sekolah seperti dia, sudah selayaknya mendapatkan tempat terhormat, bangku tamu paling depan dengan suguhan berbagai hidangan dan konsumsi yang lebih istimewa dan spesial dibandingkan dengan tamu-tamu lainnya, dibandingkan juga dengan aku. Dia adalah seorang duta sekolah yang menjadi undangan terhormat sekaligus juri dalam acara Classmeeting Modelling ini. Sedangkan aku, aku ada di belakang stage, mempersiapkan acara demi acara, ya, aku panitia. Aku yang mondar-mandir ke sana dan ke mari demi berlangsungnya acara ini dengan baik, tentu saja dengan penampilan yang tak di nomor satukan, dengan keringat dan rasa capek yang bertumpuk. Tapi aku beruntung, aku punya teman-teman yang membantu aku, ya, teman-teman panitia. Tanpa mereka, tanpa aku, acara tidak akan berjalan dengan baik. Tentu saja aku berbeda dengannya, lihat saja, penampilannya sebagai duta sekolah sangat dinomor satukan, walaupun seorang pria, make up juga menjadi hal yang terutama baginya, bukan hanya itu, dari tatanan rambut, kostum, hingga sepatu dan aksesoris, semuanya komplit, tidak ada yang luput atau tertinggal. Dia hanya duduk di bangku terhormat itu dengan memegang pulpen dan menulis nilai peserta classmeeting modelling satu per satu.
Di kehidupan sekolah, walau dia seorang duta sekolah yang meraih berbagai prestasi di bidang non-akademik, kemampuan akademik/intelektualnya tidak bisa menyaingi kemampuanku. Saat ini, kami berada di kelas XI IPA SMA, aku berada di kelas XI IPA 1, kelas terbaik dengan rata-rata kemampuan muridnya diatas rata-rata kelas ipa lainnya. Sedang dia, dia berada di kelas XI IPA 9, yang boleh dikatakan kelas ipa buangan. Hmm, walau begitu, prestasinya juga sangat membanggakan, prestasinya banyak sekali diluar sekolah, tidak seperti aku, aku memang berprestasi, namun hanya di sekolah, bisa dikatakan kalau aku hanya jago kandang saja. Aku adalah seorang siswi dengan ranking 1 paralel di sekolah dan seorang sekertaris OSIS, dengan orang tua yang tidak berpengaruh di sekolah. Sedangkan dia, duta sekolah, duta kota dimana kami tinggal, dan duta musik propinsi, dan orang tuanya adalah ketua yayasan sekolah. Waaw, jelas berbeda, bagai pangeran dan aku hanya gadis dari rakyat jelatanya. Sang pangeran jelas sekali menjadi pujaan, ya, dia selalu jadi pujaan dari setiap siswi sekolah, entah dari kakak kelas, teman seusia, ataupun adik kelas. Coba ditanya, siapakah cowok paling nge-top di sekolah, pasti jawabannya adalah dia. Sebut saja namanya Putra. Putra sungguh jadi idola bagi setiap cewek di sekolah, termasuk juga aku, hanya saja, aku bukan tipe cewek yang mengumbar-umbar rasa sukaku terhadap seseorang seperti yang cewek-cewek lain lakukan.
Sejujurnya, aku dan dia pernah menjadi teman kecil. Dulu, ketika SD, kelas 1 tepatnya, kami bertetangga, di mulai dari keluarganya yang pindah di perumahan tempat keluargaku tinggal. Kami bersekolah di SD swasta yang sama. Masih teringat jelas, saat ayahku meninggal, ibuku harus bekerja menghidupi aku, putrinya seorang, dan oleh karena itu, setiap pagi, setelah sarapan, ibuku menghantarkan aku ke sekolah, kemudian ibuku berangkat bekerja. Ibu menitipkan aku kepada keluarganya, sepulang sekolah, aku dan Putra pulang bersama, tentu saja dengan dijemput orang tuanya. Kadang ibunya, kadang pula ayahnya, atau kadang malah berdua. Aku pernah iri kepadanya, dan pernah aku kemukakan itu dihadapan Putra dan ibunya, aku iri melihat kelengkapan dan kesempurnaan keluarganya. Namun, ibunya menanggapi dengan senyum dan berkata bahwa aku telah dianggap putrinya sendiri, oleh karena itu, aku harus menganggap mereka keluargaku juga. Maklumlah, aku tau, keluarga Putra hanya memiliki seorang anak tunggal saja, yaitu Putra. Mereka tidak mempunyai seorang putri dan ibunya pun tidak bisa mengandung lagi dikarenakan gangguan saat hamil hingga melahirkan Putra sehingga rahimnya harus diangkat.
Aku dan Putra menghabiskan waktu bersama, mulai dari kelas 1 SD hingga kelas 3 SD, kami bermain bersama. Banyak permainan yang kami lakukan, salah satu permainan yang sering kami mainkan adalah dokter dan suster, dia menjadi dokternya dan aku menjadi susternya. Itu semua karena cita-citanya menjadi dokter dan cita-citaku menjadi suster. Dia pernah berkata pula bahwa bila nanti sudah dewasa, kami akan selalu bertemu di rumah sakit setiap hari, itu karena dia akan menjadi dokternya, dan aku yang akan menjadi susternya. Waktu berlalu, hingga saat kelas 3 SD, aku dan ibuku pindah ke kota lain, rumah di perumahan, sebelah rumah Putra, dijual oleh ibuku untuk memenuhi kebutuhan hidup dan khususnya kebutuhan sekolahku yang semakin hari semakin mahal. Hingga aku dan ibuku pindah ke rumah nenek, di kota lain yang cukup jauh dari kota yang Putra beserta keluarganya tinggali.
Aku dan dia terpisah, sang dokter sudah terpisah dengan sang suster, entah berapa lama dan entah sampai kapan terpisahnya.  Waktu demi waktu, kami bertumbuh dewasa satu sama lain, tanpa adanya kabar, tanpa adanya suatu komunikasi. Kami tidak mengerti satu sama lain. Aku menjalani kehidupanku di kota kecil ini, kota tempat nenekku tinggal. Tanpa disadari, waktu cepat berjalan, aku lulus SD dengan nilai yang cukup memuaskan, aku masuk SMP favorit dan ternama di kota kecil itu dengan bebas biaya, nilaiku selama di SMP pun tertinggi, aku selalu mendapat peringkat pertama dan dengan itulah sekolahku gratis sehingga ibuku tak perlu repot-repot membiayai aku. Ibuku menjadi seorang yang memotivasi aku, sangat-sangat memotivasi aku. Sehingga setiap langkah yang aku ambil hanyalah memiliki satu tujuan yakni membahagiakan ibuku. 
Waktu-waktu ini terus berlalu, pikiranku hanya untuk sekolah dan ibu saja, pikiran tentang Putra dan keluarganya hilang sudah termakan oleh waktu. Tanpa terasa pula, sudah UNAS SMP, lagi-lagi dengan doa dan usaha, nilai UNAS ku menjadi nomor satu se-kabupaten dan nomor 2 se-propinsi. Dan hal inilah yang membuat ayah Putra, selaku kepala yayasan dari salah satu SMA di kota massa kecilku, kota tempat tinggal Putra, memberikan beasiswa kepadaku untuk masuk SMA itu, dengan biaya sekolah gratis dan biaya hidup gratis, dengan aku tinggal di asrama sekolah itu. Tentu saja, ibuku tak keberatan, ibuku hanya berpesan bahwa aku harus benar-benar belajar dan memanfaatkan kesempatan beasiswa ini dengan baik. Ibuku juga berjanji, bahwa setiap akhir bulan, ibuku akan mengambil cuti dan mengunjungi aku di asrama.
Mulailah masuk di masa SMA, kelas X-1, kelas unggulan menjadi tempatku kali ini, tentu saja, dengan nilai UNAS yang hampir sempurna itu, pastilah aku dapat masuk kelas unggulan dengan mudah. Di masa awal SMA ini, aku mulai terpikir kembali tentang semua kenangan masa kecilku bersama Putra, aku sudah bertemu ayah Putra, namun aku belum bertemu Putra. Hingga saat setelah raport semester 1 dibagikan, dengan ranking 1 paralel yang ada, rasa bahagia seolah belum lengkap, karena kehadirannya masih belum di depan mata, aku masih menunggu kehadirannya. 
Semester 2 tiba, dengan kabar seorang siswa baru pindahan dari Singapore dengan wajah tampan, tubuh tinggi, dan kulit putih. Sekilas, aku dengar dari teman-temanku, siswa pindahan itu adalah anak kepala yayasan. Langsung terlintas di pikiranku, apakah itu Putra atau bukan. Aku tak tau, siswa baru itu berada di kelas mana dan aku belum pernah menemui atau bertemu dengannya. Maklum saja, sekolahku merupakan sekolah yang sangat besar. Kelas X saja memiliki 15 kelas, dengan 30 siswa di masing-masing kelas. Dan untuk kelas XI dan XII, adalah masing-masing 9 kelas IPA, 3 kelas IPS, dan 3 kelas bahasa. Bisa dibayangkan betapa besarnya dan banyaknya murid di sekolahanku. Hingga tiba suatu pemilihan duta sekolah dengan aku yang menjadi salah satu panitianya, aku mengurus dan menyeleksi semua nama-nama yang layak menjadi duta sekolah dan hasilnya, kutemukan namanya, Putra Setiawan Prayoga dari kelas X-9. 
Hingga saat seleksi awal, saat pengumpulan data, surat kesehatan, dan administrasi lainnya, kami bertemu dan bersapa. Dimulai darinya yang melihat tag-name di seragamku dan bertanya apakah benar aku adalah Ani, suster kecilnya, yang dulu pernah satu SD dengannya. Sambil berpura-pura mengingat, akupun berkata ia, dan dengan jelas aku kembali berkata bahwa ternyata dia adalah Putra, dokter kecilku dulu, yang selalu pulang sekolah bersama denganku. Kami saling menyapa satu sama lain dan saling tersenyum. Senyumnya indah sekali, tampan sekali. 
Hingga pemilihan duta sekolah tiba pada puncaknya, dia terpilih jadi duta sekolah, dan tentu saja semua siswi semakin berdecak kagum kepadanya. Dan semakin jauhlah jarak diantara aku dan Putra, seakan semakin renggang saja, ditambah lagi di bulan yang sama dia terpilih menjadi duta pemuda kota dan duta musik propinsi. Seakan-akan, dokter kecilku telah hilang kembali, dan sang suster kembali sendiri lagi. Sangat jauh, dan aku perlahan hanya ingin melupakan dokter kecilku yang kini menjadi pangeran yang dipuji-puji setiap orang.
Hingga saat penjurusan tiba, aku dengan mudah dan sudah pasti masuk ke jurusan IPA, karena nilai-nilai ipa ku lah yang memang dominan. Dan sempat terdengar di telingaku, Putra lebih dominan di nilai IPS sehingga ia akan dimasukkan ke jurusan IPS, ditambah lagi sebagai duta, pasti kecerdasaan dan kemampuan sosialnya lebih tinggi dan akan lebih berkembang apabila ia masuk ke jurusan IPS. Bila benar, ia masuk jurusan IPS, maka pupus sudah harapan masa kecil dulu, bahwa ia akan menjadi dokter dan nantinya hanya aku sendiri yang akan menjadi suster, dengan dokter lain, yang bukan dirinya. Ternyata, dengan segala usahanya yang ditompang oleh ayahnya pula, Putra berhasil masuk ke jurusan IPA, hanya saja kelas ipa terakhir, yakni kelas XI IPA 9. Sangat jauh denganku yang berada di kelas XI IPA 1. Tapi setidaknya, itu membuatku lega, bahwa masih ada harapan bersama dokter Putra nantinya. 
Namun tetap saja, walau berada di kelas IPA, kesibukkannya menjadi berbagai macam duta mengalahkan materi-materi pelajaran IPAnya, sehingga suatu kali, dia menemuiku atas permintaan orang tuanya pula, ia meminta agar aku menjadi gurunya selama ia ketinggalan mata pelajaran. Tentu saja, rasa sungkan ada di benakku, masakan seorang rakyat jelata sepertiku mengajari sang pangeran sekolah. Tentu saja aku minder, aku merasa kurang percaya diri. Setiap kali ia belajar, pakaiannya selalu seperti orang mau pergi ke mall, sedangkan aku, setiap aku belajar, aku hanya memakai baju seadanya, bahkan daster atau baju tidurpun tak masalah menjadi pakaianku saat belajar. Ditambah lagi, setiap kali serius belajar, kadang hp nya berbunyi dengan berbagai macam pembicaraan, mulai dari acara ulang tahun sekolah, konsep acara ulang tahun kota, sampai festival kebudayaan propinsipun ada dalam teleponnya, tak peduli itu adalah waktu kerja atau tidak. Hal seperti itu tetap berlanjut hingga aku mengundurkan diri, hingga aku tak mau lagi menjadi guru pribadinya. Namun dia tetap bersih keras untuk mau berkomitmen dan belajar bersama denganku, dia memberikanku jaminan bahwa sebentar lagi, satu tahun jabatannya sebagai segala macam duta akan habis, sehingga dia bisa benar-benar berkonsetrasi terhadap materi pembelajaran, ditambah lagi dengan ibu Putra yang meyakinkan aku, akhirnya, aku urungkan niatku, dan aku tetap menjadi guru pribadinya. Waktu demi waktu berlalu, kami tetap belajar bersama, hingga masa baktinya habis sebagai segala macam duta tersebut. 
Kenaikkan kelas menuju kelas XII pun tiba, dia melepaskan segala jabatannya dan di kelas XII ini, dia hanya ingin berkonsentrasi untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi UAN, kebetulan juga, di kelas XII ini, aku dan Putra berkumpul dalam satu kelas yang sama, yakni XII IPA 4, maklumlah, memang di kelas XII tak ada kelas unggulan lagi, semuanya rata, dengan tujuan lulus bersama dalam UAN. 
Sampai suatu kali, kabar burung terdengar, Putra menjalin hubungan dengan Vinda, seorang adik kelas, yang duduk di bangku XI IPS 1, kelas IPS unggulan, disamping itu, Vinda juga merupakan duta putri sekolah, prestasinya pun tak kalah hebatnya dengan Putra, bila Putra pernah menjadi duta pemuda kota, kini Vinda menjadi duta pemudi kota, disamping itu Vinda juga seorang penari tradisional kota yang sangat berbakat dan ia adalah penari nasional. Bukan hanya dibidang non-akademik saja, kabarnya, Vinda juga merupakan ranking paralel 2 untuk kelas XI IPS. Waaw, sang pangeran bertemu dengan sang putri, sungguh cocok. Dan sang gadis jelata tak kan bisa menandingi sang putri yang sempurna itu. Perlahan demi perlahan, sungguh, aku hanya ingin berteman dan bersahabat saja dengan Putra, aku tak mau ada rasa suka di hatiku ini. 
Aku berusaha tidak menyukainya lagi. Perlahan, aku menghindar dari Putra untuk sekedar melupakan rasa sukaku. Perlahan pula, aku memendam keinginan dan cita-citaku untuk menjadi seorang suster, aku ingin alihkan cita-citaku menjadi seorang farmasis. Tapi tetap tak bisa, dari jati diriku, aku hanya ingin menjadi seorang suster saja, walau bukan Putra yang jadi dokternya, aku tetap hanya ingin menjadi seorang suster. 
Di sabtu itu, Putra mengajakku untuk belajar bersama, namun aku menolaknya dengan berbagai macam alasan semampuku. Ibu Putra mengunjungiku ke asrama, mengajakku makan malam. Berjalan bersama ibu Putra pun membuatku tak percaya diri. Ibu Putra mengenakan kemeja anggun dengan rok selutut, dengan tas mewah di tangannya, dengan sepatu hak tinggi dan berbagai macam aksesoris yang membuat beliau semakin lebih menawan, sedangkan aku hanya memakai kaos dengan jaket jamper, dengan bawahan celana jeans, dan sepatu sport d kakiku. Sempat terlintas dalam benakku, memang benar bahwa aku tak pantas menjadi anggota keluarga Putra, atau istri Putra mungkin, sama sekali aku tak pantas. 
Ibu Putra mengajakku ke mall, mengajakku untuk makan malam dan kemudian mengajakku untuk berbelanja. Ibu Putra sempat mengatakan bahwa ia merindukanku, dan memintaku menemaninya belanja, dari pakaian sampai kebutuhan keluarga. Ia juga mengatakan kepadaku agar aku maklum, karena ia tidak mempunyai anak perempuan. Ibu Putra juga menanyakan kabar ibuku. Kebersamaan dengan ibu Putra sungguh membahagiakanku, seolah-olah aku sedang bersama ibuku saat itu. 
Sampai saat tiba di bagian perbelanjaan pakaian, ibu Putra menunjuk sebuah dress batik yang anggun, beliau bertanya bagaimana pendapatku, aku hanya berkata kalau itu manis dan sederhana. Segera, ibu Putra mengambilnya dan menyuruhku mencobanya, dan pas, cocok sekali untukku. Ibu Putra membelikannya untuk aku, aku sempat menolak, tapi beliau bersih keras membelikannya. Hanya kata terimakasih yang ada di mulutku dan di hatiku, aku ucapkan itu sambil memeluknya. Beliau pun juga membeli baju-baju, bukan hanya untuk beliau saja, tetapi juga untuk Putra. Aku bahagia, ketika beliau menuruti dan mendukung saranku saat membelikan kaos dan kemeja untuk Putra.
Setelah itu, sampailah kami berbelanja di supermarket, dari buah-buahan, bahan dapur, beras, sayur-sayuran, semua kami beli dan kami pilih bersama. Nampaknya, ibu Putra sangat cocok dan senang denganku. Aku bersyukur, ada ibu Putra yang mengobati kerinduanku kepada ibuku. Kami belanja bersama, tak terasa sudah hampir 3 jam kami bersama. Mulai dari jam 4 sore, hingga jam 7 malam ini. Ibu Putrapun membujukku untuk menginap di rumahnya semalam saja, karena hari esok adalah hari libur, dan asrama membebaskan setiap murid di waktu akhir minggu. Aku pun hanya berkata ia, mengikuti seluruh perkataan beliau, karena aku tau, beliau sangat berjasa dalam hidupku. Kami menuju rumah kediaman keluarga Putra dengan membawa seluruh belanjaan yang ada.



Aku dan ibu Putra tiba di rumah, rumah itu sangat sepi. Hanya ada ayah Putra yang sedang mandi, sedangkan Putra entah pergi kemana dan belum tiba. Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam, namun Putra juga belum datang. Ibu Putra menyuruhku untuk ke kamar tamu, dimana letak kamar tamu itu bersebelahan dengan kamar Putra. Ibu Putra menemanikku menuju ke kamar tamu. Beliau sudah mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari pakaian yang akan aku pakai, handuk dan perlengkapan mandi, semuanya telah beliau persiapkan, seakan-akan kedatanganku malam ini sudah terencana.
Setiba di kamar tamu, kami duduk berdua di atas ranjang, kami saling bercerita satu sama lain. Beliau bercerita, bahwa semenjak aku pindah dahulu, rumah menjadi semakin sepi, dan teman bermain Putra hanyalah komputer dan alat elektronik lainnya. Aku pun bercerita segala sesuatunya setelah aku pindah hingga aku bisa kembali lagi ke kota dimana ibu Putra tinggal ini. Aku juga bercerita tentang ibuku, yang membuatku meneteskan air mata dan beliau memelukku, sambil menguatkan aku.
Selanjutnya, malam itupun aku dan ibu Putra tidur di kamar tamu. Aku terlelap sedemikian rupa sehingga aku tak mengerti kedatangan Putra. Esok harinya, pagi benar aku sudah bangun dan mandi, aku membantu ibu Putra menyiapkan sarapan pagi. Tanpa sadar, setelah kejadian semalam, aku semakin menjadi akrab kepada ibu Putra dan aku tak melihat lagi bahwa ada perbedaan diantara kami. Yang aku tau, ibu Putra dan seluruh keluarga Putra adalah baik dan menyukai pribadiku. 
Pagi itu, aku, ibu dan ayah Putra, beserta Putra makan bersama dalam satu meja. Saat itu, aku tak tahu bahwa piring yang aku ambil adalah piring spesial yang khusus hanya untuk Putra. Ibu Putra berkata bahwa piring itu milik Putra, khusus untuk Putra saja, dan menyuruhku memberikannya kepada Putra. Namun justru Putralah yang kembali memberikannya kepadaku dan menyuruhku memakai piring itu. Setelah sarapan, Putra mengajakku untuk belajar bersama di taman belakang, dengan berat hati, aku mengiyakannya. Mau bagaimana lagi, bila menolaknya, aku merasa sungkan kepada kedua orang tua Putra. 
Setiba di taman belakang, hanya aku dan Putra saja di sana. Suasananya sangat cerah, kicauan burung dimana-mana. "Mana buku-bukunya?", tanyaku. Dia hanya diam, kemudian berdiri di tepi kolam ikan. Akupun menghampirinya, dan bertanya apakah mau belajar atau tidak. Segera, jari telunjuknya menutup mulutku seakan-akan menyuruhku berhenti bicara. Kemudian kembali dia yang bertanya, "Selama ini kamu kemana?". Aku bingung dengan pertanyaannya, selama ini aku tidak kemana-mana, aku sekolah dan bukankah kami sekelas dan kami saling bertemu satu sama lain. 
Aku terdiam sejenak, kemudian, aku kembali bertanya, "Beneran, Putra dengan Vinda sekarang?".  Secara tegas Putra menjawab, "Ani, kamu memang gak berubah dari dulu sampai sekarang, kamu tetap aja gak bisa memanggil orang lain dengan kata kamu atau dia, kamu tetap aja memakai namanya. Vinda dan aku hanya sebatas pasangan senior-junior sebagai duta sekolah, kami hanya melakukan kegiatan bersama, namun kami tidak punya hubungan apa-apa. Kenapa? Kamu takut?" 
Secara tegas, aku kembali bertanya sambil menutupi perasaanku, "Takut apa?" 
Dia menarik tanganku, tubuh ini dekat sekali dengan tubuhnya, tangan kirinya memegang tanganku dan tangan kananya berada di pinggangku. Aku kaget, aku hanya terdiam, tidak dapat berkata apa-apa rasanya. Kemudian dia berkata, "Dari dulu sampai kapanpun, jadilah suster yang selalu menemaniku." Wajahnya mendekati wajahku, namun wajahku berpaling darinya. Lalu ia melepaskan tangannya dariku dan masuk ke dalam rumah, kemudian ia kembali lagi dan mengajakku untuk belajar. Aku masih belum paham benar apa yang dia maksudkan lewat kata-katanya tadi. 
Sambil belajar, kami saling bergurau dan bercerita satu sama lain, apa saja kami ceritakan, dari dulu sampai sekarang. Lalu perlahan, kami sama-sama berkhayal, menceritakan masa depan impian kami. Dimulai dari aku, "Kalau Ani, Ani pengen setelah lulus SMA ini, Ani nglenjutin ke akademi keperawatan. Nanti setelah lulus, Ani pengen kerja dengan dokter yang baik, yang nantinya akan jadi suami Ani. Terus, kalau ibu Ani sakit, Ani pengen Ani sendiri yang ngurus ibu Ani. Terus kalau boleh juga, kalau Ani punya rejeki, Ani pengen bangun rumah sakit kecil untuk orang-orang yang membutuhkan. Kalau Putra gimana?" 
Putra meneruskan, "Kalau aku, setelah lulus pengen masuk fakultas kedokteran. Setelah lulus kedokteran umum, aku mau ambil spesialis anak. Terus, selain jadi dokter, aku juga pengen tetep jadi duta budaya dari kota ini. Setelah lulus jadi dokter, aku akan buka klinik anak, yang aku urus bersama kamu. Kamu mau kan An?" 
Aku hanya tersenyum, sambil dalam hati mengaminkan itu semua. 
Dalam hati, aku yakini, kalau sebenarnya Putra juga menyukaiku, trbukti dari kata-kata yang ia ungkapkan, walaupun tersirat, tapi aku tau, Putra pun suka. Mungkin saja, bakatnya sebagai duta itulah yang mendorongnya setiap kali berbicara haruslah sopan , santun , dan tak ada blak-blak an seperti orang awam umumnya.
Hari-hari berlalu, kini bukan lagi siswa atau mahasiswa, kini yang adalah Dokter Putra dan Suster Ani. Kami melewati hari-hari kami berdua di rumah sakit, setiap hari bertemu, kami berangkat dan pulang bersama kadang. 
Dan pangeran itu kini menjadi dokter, dan pangeran itu kini dimiliki oleh seorang gadis jelata yang beruntung itu. Kini, dokter dan suster selalu bersama, tak pernah terpisah. Bulan depan, kami akan menikah, dengan lamaran Putra yang ia sampaikan di rumah sakit. kini, pangeran yang benar-benar mengungkapkan hatinya secara terang-terangan, tanpa tersirat lagi. 
Betapa bahagianya sang gadis jelata yang kini menjadi seorang suster, gadis itu telah memiliki pangeran dan suster itu telah memiliki dokternya. Gadis dan suster itu adalah Ani. Dokter dan Pangeran itu adalah Putra. :) <3



Tidak ada komentar:

Posting Komentar