Jumat, 25 Oktober 2013

MEONG



                Senin pagi, aku tiba di rumah kost, seperti biasa, setelah pulang kampung, aku kembali lagi ke kost, rumah keduaku, saat aku menjalani aktifitas sekolahku. Kost yang biasanya sepi oleh karena kesibukan masing-masing siswi penghuni kost, saat ini sedikit diramaikan oleh suara kucing. Seekor kucing yang berkalungkan gelang warna pink, yang cukup manis, yang manja, entah darimana asalnya, namun kucing ini jinak, nampaknya dibuang oleh pemiliknya yang lama.
                Setiap aku dan teman-teman pulang sekolah, kucing ini selalu mengeong, seolah-olah meminta makan, namun kami hanyalah anak kost, yang memiliki uang saku terbatas, yang tidak bisa membelikan kucing ini ikan untuk ia makan. Alhasil, hanya nasi putih dan sisa-sisa lauk kami saja yang kami berikan sebagai makanan si meong.
                Minggu pertama si meong berada di kost kami, ia sedikit nakal, dengan menganggu kami saat kami menyetrika, saat kami mencuci pakaian, saat kami makan, dan saat kami melakukan apapun. Ketika pintu kamar kami terbuka, si meong juga masuk tanpa permisi, ia masuk sampai naik ke tempat tidur kami, itu cukup menjengkelkan, karena mengotori lantai kamar terlebih tempat tidur kami. Sehingga, kami harus mengusirnya keluar dari kamar kami secara paksa.
                Minggu kedua si meong berada di kost, ia menjadi bertambah nakal, setiap kali kami sedang makan di meja makan, ia ikut naik ke atas meja makan, seolah ingin bergabung makan dengan kami. Hal itu membuat kami bertambah jengkel. Akhirnya, setiap kali kami makan, kami makan di luar, di warung, kalaupun kami makan di kost, kami akan makan di kamar kami masing-masing dengan pintu yang tertutup, sehingga si meong tidak akan masuk dan tidak akan mengganggu kami yang sedang makan. Si meong duduk di depan pintu kamar kami, seolah menunggu datangnya makanan sisa.
                Minggu ketiga si meong berada di kost, ia menjadi sedikit pendiam, kenakalannya berkurang, terbukti ketika pintu kamar kami terbuka lebar, ia tidak berani melangkahkan kakinya untuk masuk. Namun soal makanan, setiap aku pulang sekolah, tetap saja ia masih mengeong minta makan, eongannya membuat aku iba dan ingin memberi makannya. Namun, minggu ketiga ini, meong dalam masalah besar, karena si pemilik kost merasa jengkel dengan sikap meong yang mencakar-cakar keset dan alas kaki, sehingga sedikit merusak struktur keset dan alas kaki dan meong yang selalu mengacak-acak sampah sehingga sampah jatuh berserakan.
                Di akhir minggu ketiga inilah, meong berpisah dengan kost kami. Bukan keinginan hati meong untuk berpisah, namun keinginan para penghuni kost. Kehadiran meong dianggap sebuah hal yang mempersulit kegiatan kami selama di kost. Ketika aku mau pulang kampung, sebuah ijin terlontar dari mulutku kepada pemilik kost, agar aku dapat membawa meong dan menurunkannya di tengah-tengah perjalanan pulang. Pemilik kost mengijinkannya, asal saja aku menurunkannya di dekat warung, sehingga si meong pun bisa hidup lebih baik daripada di kost an.
                Sebuah karung bekas pupuk menjadi wadah si meong untuk sementara, si meong kumasukkan ke dalam karung itu. Awalnya, tangisan dan permohonan meong untuk keluar terdengar terus-menerus lewat suara eongan dan erangannya. Malang, sungguh malang, hati kasihan, namun ini yang terbaik, bahwa meong harus dibawa pergi jauh dari kost an. Dalam perjalanan, awalnya si meong memberontak dan ingin cepat-cepat keluar dari karung, namun lambat laun, si meong pasrah, tidak ada lagi eong an atau tingkahnya untuk memberontak.
                Setibanya di sebuah pasar pinggir jalan raya, sepeda motor yang aku naiki, ku arahkan masuk ke dalam pasar itu dan karung berisikan si  meong itu ku turunkan dan kutinggalkan. Dari spion terlihat ia mulai keluar dari karung dan kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, bingung ia berada di mana. Selamat tinggal meong, hiduplah dengan baik di pasar itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar