Kamis, 01 Agustus 2013

EFEK BROKEN HOME

     15 tahun yang lalu, masih teringat jelas didalam benakku, kami bertemu saat MOS SMP, ketika aku masuk menjadi siswa baru di kelas 7 dan dia menjadi senior di kelas 9. Kami mengenal satu sama lain, namun hanya sebatas teman, seperti adik kakak, tapi sama sekali tidak satu aliran darah. Yang sama-sama kami tau adalah orang tua kami berteman baik dari dahulu, urusan bisnis dan silahturahmi, semuanya baik-baik saja diantara hubungan orang tua kami satu sama lain.
     Kelas 9 merupakan kelas yang terakhir baginya pada masa SMP, beban berat ada di pundaknya bahwa ia harus melalui UAN guna penentuan kelulusannya. Namun, permasalahan dalam keluarganya menjadikan bebannya semakin berat. Dimana ketika awal tahun baru, 4 bulan lebih sebelum pelaksanaan UAN, kedua orang tuanya bercerai, ayahnya berselingkuh dan ibunya menggelapkan uang keluarga demi pria simpanannya.
     UAN berhasil ia tempuh, walaupun dalam keadaan yang berat. Dia memutuskan untuk masuk SMA di luar kota, di Jakarta, jauh dari kampung halamannya, jauh dari ayah dan ibunya. Jakarta terlalu bebas dan besar untuknya, namun ia tetap berangkat dengan harta dan uang yang berlimpah, kekayaan keluarganya.
     Masuk ke tahun kedua saat ia duduk di bangku SMA, terdengar kabar bahwa ayahnya menikah dengan seorang gadis desa yang berusia 18 tahun, baru lulus SMA. Kedengarannya konyol, bahwa ayahnya menikah dengan seseorang gadis yang berusia hampir sama dengan dirinya. Banyak komentar keluar dari mulut rekan-rekan dan kerabat ayahnya, termasuk dari keluargaku, yang mengatakan bahwa istri baru dari ayahnya, seusia dengannya, sehingga lebih cocok dengan dia daripada dengan ayahnya.
     Aku tidak pernah bertemu dengannya, aku juga tidak pernah tau bagaimana keadaannya. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi dia yang sudah pasti tidak nyaman dengan keadaan keluarganya yang berantakan, ditambah lagi dengan ayahnya yang menikah lagi, pastilah timbul konflik batin di dalam hatinya, yang membuat hidupnya berantakan bahkan tidak bahagia sama sekali hingga ia tumbuh menjadi seorang pria yang dewasa.
     Tahun 2013, usiaku menginjak 19 tahun, dan usianya 22 tahun. Kabar dari orang tuaku menyatakan bahwa ia telah lulus kuliah S1 dan belum bekerja sama sekali karena ia hanya mengandalkan kekayaan dari ayahnya seorang. Maklumlah, memang ayahnya sangat kaya raya, bisa dibilang juga kalau bisnis orang tuaku pun tergantung dari bisnis ayahnya yang sungguh merajai di daerah kota ini.
     Dan di tahun 2013 pula, kabar buruk menimpa keluarganya, ayahnya meninggal karena komplikasi, awalnya diabetes, lalu merambat hingga ginjal, paru-paru, dan jantung.Entah bagaimana responnya terhadap kejadian itu, aku tak tau. Ketika upacara penguburan jenazah ayahnya, aku hadir di sana, turut berduka cita, melihat dirinya di dekat peti jenazah sang ayah dengan wajah yang pucat, mata yang merah, yang dapat aku rasakan adalah kepedihan hatinya ketika sang ayah pergi saat ia sedang tenggelam di dalam dunianya yang kelam, saat ia belum sempat membahagiakan ayahnya.
     Sebulan setelah kepergian ayahnya, ia kembali ke Kota Jakarta, kerabat dan keluarganya mengharapkan dia untuk tetap tinggal di kota asalnya, di sini, untuk meneruskan bisnis dari ayahnya. Namun, dia tidak mau, dia kembali ke Jakarta seorang diri. Keluarganya berharap bahwa ia bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik setelah kepergian ayahnya, namun ternyata tidak, dunia kelam menjadi pelampiasan semua amarahnya. Keluar masuk diskotik, mabuk-mabukan, bermain wanita, hingga ATM dan Kartu Kreditnya diblokir oleh tantenya, adik dari ayahnya.
     Ketika ATM dan Kartu Kreditnya telah diblokir, mau bagaimana lagi? Apa pilihannya selain pulang kembali ke kota asal ataukah menetap di Jakarta dengan mencari nafkah dengan keringatnya sendiri? Tentulah, ia memilih untuk kembali, karena dengan kembali ke kota asal, semua kebutuhannya untuk makan dan tinggal dapat tercukupi dengan baik. Kekayaan peninggalan ayahnya masih banyak, 90% mutlak diwariskan kepadanya, karena ia adalah putra tunggal sang ayah, anak tunggal ayahnya. Sedangkan sisa 10% nya adalah untuk istri ayahnya, ibu tirinya.
     Warisan 90% itu tidak langsung diberikan kepadanya, namun dikelola oleh tantenya dahulu, dan akan diberikan secara mutlak padanya ketika ia sudah siap dan dapat mengelola seluruh uang tersebut dengan baik, sampai ia sudah kembali ke jalan yang benar dan tidak lagi hidup dalam dunia malam yang kelam dan jahat. Sekembalinya dia ke sini, ia kembali dididik secara halus namun tegas oleh tantenya, semua demi kebaikan dirinya, kebaikan jiwa dan raga serta masa depannya.
     1000 hari setelah kematian ayahnya, diadakan upacara 1000 hari, kala itu kami bertemu, kami saling berbincang tentang keadaan kami masing-masing, dimana kami berkuliah atau bekerja. Kala itu, aku sedang praktik, 4 tahun berkuliah dan 1 tahun ini aku berpraktik, aku seorang dokter saat ini. Dia juga mengabarkan bahwa dirinya telah lulus S1 Management dan saat ini mengelola bisnis ayahnya, walaupun hanya sebagai manager saja. Sedangkan direktur dari bisnis ayahnya masih dijabati oleh bibinya.
     Selesai aku berbincang dengannya, sang bibi memanggilku, pada intinya, beliau meminta aku perlahan-lahan untuk memperbaiki keadaannya, mengingat aku dengan Juan adalah teman kecil yang sangat dekat dan akrab satu sama lain. Memang keadaan Juan saat ini lebih baik daripada ketika ia tinggal di Jakarta, saat ini Juan masih bisa diajak bicara dan peduli kepada keluarga. Namun kebiasaannya yang keluar malam, mabuk-mabukan dan bermain cewek masih belum bisa diatasi, masih belum hilang sama sekali, terbukti bahwa sudah ada 3 orang cewek yang mengadu pada beliau bahwa mereka telah dipermainkan oleh Juan.
     Sebagai teman yang baik, aku pun akan melakukan hal-hal untuk membuat temanku kembali ke jalan yang benar. Selayaknya kepada Juan, perlahan-lahan aku akan menasehati Juan agar ia meninggalkan seluruh masa lalunya yang kelam dan memulai hidup baru yang bersih di dalam Tuhan. Efek broken home yang ia alami sungguh membuat hidupnya hancur, namun kemudian dengan dukungan dan bantuan keluarga dan teman, juga aku, ia dapat bangkit dari kehancuran hidupnya.
     Tahun demi tahun berlalu, tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah kebiasaan buruk yang ia lakukan di masa lalu. Namun, ada satu hal yang pasti, keinginan dan motivasi untuk kembali membangun kehidupan yang baik dari kehidupan lalu yang hancur itu. Kini, ia sudah bisa meninggalkan semua kenangan dan kehidupan pahitnya di masa lalu. Ia telah menikah dengan sahabatku, Rasya. Rasya juga berlatarbelakangkan keluarga yang broken home, namun Rasya benar-benar hidup dengan mengandalkan Tuhan, Rasya tidak terjebak dalam kehidupan yang kelam seperti Juan.
     Mereka berdua telah berjanji dihadapan pemuka agama dan saksi, salah satu saksinya adalah aku, bahwa mereka akan saling menghargai dan menghormati sebagai sepasang suami istri, akan mendampingi satu sama lain dalam suka dan duka. Mereka juga berjanji tidak akan menyerah dan berpisah satu sama lain, hal itu berbekal dari pengalaman masa lalu mereka, dimana kedua orang tua mereka broken home dan merekalah yang menjadi korban. Mereka tidak mau mengulangi kesalahan orang tuanya, mereka hanya mau hidup berdampingan untuk selamanya sampai maut memisahkan mereka.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar