Jumat, 10 Februari 2012

PIALA UNTUK SANG PAHLAWAN

Pagi ini, aku bangun kesiangan. Aku segera menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Tanpa sarapan, aku berangkat, menaiki angkot dan akhirnya tiba di sekolahan dengan keadaan gerbang sekolah yang sudah tertutup. Jelas saja, aku terlambat. Arlojiku menunjukkan pukul 07.15, sedangkan sekolahku masuk jam 07.00.
“Hei, Avia.. Cepat masuk! Isi surat keterangan terlambatmu dan cepat minta ijin untuk masuk kelas kepada guru piket.”, kata satpam sekolah kepadaku. Ini pertama kalinya aku terlambat semenjak duduk di bangku SMA, di SMAN 1 Malang ini. Aku bergegas ke guru piket dan meminta ijin agar aku dapat masuk kelas dan mengikuti pelajaran kembali.
Setiba di kelas, semua murid di kelasku tercengang, mengapa seorang Avia Martha Levisa, yakni aku, yang rajin, tekun, cerdas, dan disiplin bisa terlambat datang ke sekolah. Padahal sebelumnya, aku selalu menjadi murid pertama yang tiba di kelas, entah mengapa, hari ini aku bisa terlambat. Mungkin, sudah takdir Tuhan kalau hari ini aku bisa terlambat. Biarlah, ini bisa jadi pengalaman untukku.
Bu Fira, guru biologi, yang saat itu mengajar di kelasku pun heran, mengapa aku bisa terlambat. Tapi herannya, Bu Fira yang terkenal cuek, killer, tegas, dan disiplin itu sama sekali tidak memarahiku. Malahan beliau bertanya, mengapa aku bisa sampai terlambat dan beliau memberitahuku, bahwa beliau merekomendasikan aku sebagai salah satu peserta Olimpiade Biologi di Universitas Gajah Mada Jogjakarta bersama ketiga murid lainnya, yakni Zefri, Hanna, dan Dani, yang sudah terbiasa mengikuti dan memenangkan Olimpiade Biologi.
“Apa Bu? Saya mengikuti Olimpiade Biologi? Saya gak yakin bisa menang, Bu, saya sulit menghafal. Kalau Zefri, Yerza, dan Dani memang sudah berkecimpung di dunia biologi, Bu.”, kataku dengan kaget dan terkejut.
“Kamu pasti bisa, Via. Sebagai bimbingan, datanglah ke rumah Ibu setiap sore.”, kata Bu Fira meyakinkanku. Baiklah, akan aku coba, mungkin ini juga salah satu jalan Sang Kuasa pula. Apa salahnya mencoba, syukur kalau aku bisa menang, tapi kalaupun tidak menang juga tidak masalah. Aku hanya akan berusaha semaksimal mungkin, sesuai kemampuanku.
Sore harinya, aku pergi ke rumah Bu Fira dengan mengendarai sepeda motor tua peninggalan ayahku. Aku mengetuk pintu rumah Bu Fira, namun tiada yang membuka. Sekali lagi aku ketuk, tetap tiada yang membuka. Rumahnya sangat sepi, tiada tetangga di sebelah kanan dan kiri, bagaikan di tengah hutan saja. Tiba-tiba seseorang membukakan pintu, wajahnya pucat pasi. Tak ku sangka, itu Bu Fira. Beliau nampak sangat lelah.
“Sore Avia, maaf Ibu lama membukakan pintunya, karena sedang menyiapkan makanan.”, kata Bu Fira padaku sambil mempersilahkan aku masuk ke rumahnya. Aku masuk dan duduk di ruang tamu beliau. Rumah Bu Fira sangat sepi, tidak ada orang lain selain Bu Fira sendiri. Rumahnya sangat sederhana, berlantaikan keramik putih, dan sungguh rapi serta bersih, hanya ada ruang tamu dengan sebuah televisi dan meja belajar, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur yang sempit.
Bu Fira mulai membimbingku untuk belajar biologi, mempelajari semua materi biologi, khusunya yang biasa keluar pada olimpiade-olimpiade biologi. Hari itu hanya aku dan Bu Fira saja, Zefri, Yerza, dan Dani tidak hadir, entah mengapa, tidak ada pemberitahuan dari mereka.
Setiap sore, mulai pukul 16.00-18.00, aku selalu berada di rumah Bu Fira untuk belajar biologi. Sehingga, semakin hari pun, aku semakin menyukai biologi, dan juga semakin percaya diri bahwa aku dapat memenangkan Olimpiade Biologi Universitas Gajah Mada tersebut. Ini sudah Bulan Februari, sudah sebulan Bu Fira membimbingku. Yang aku herankan, selama sebulan ini, aku hanya melihat Bu Fira sendirian saja, tanpa anak dan tanpa suami. Sampai suatu kali, rasa penasaranku memuncak, dan aku bertanya pada beliau.
“Bu, Ibu hanya sendirian sajakah di rumah?”, tanyaku dengan penasaran.
“Ya, ibu seorang diri di rumah.”
“Maaf Bu, kalau boleh tau, dimana anak dan suami Ibu?”
Dengan menghela nafas panjang, Bu Fira mulai menceritakan semuanya. Rasa penasaranku pun perlahan mulai hilang, seolah cerita Bu Fira mengikis rasa penasaran dalam benakku itu. Ternyata Bu Fira bercerai dengan suaminya, sudah 2 tahun dan anak Bu Fira, putra tunggal Bu Fira, sebut saja Ardiant, sedang kuliah di Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Sehingga Bu Fira pun sendirian di rumah.
Aku pun merasa demikian di rumah, aku merasa apa yang dirasakan oleh Bu Fira, di rumahku, hanya ada aku dan kakakku saja. Ibuku bekerja sebagai TKW di Jepang, sedangkan ayahku sudah meninggal ketika aku berumur 12 tahun. Hanya kakakku saja yang menemani aku, itupun hanya saat malam hari, ketika kakakku sudah pulang kerja. Kakakku bekerja sebagai pelayan di salah satu toko obat di Malang. Aku menceritakan itu pada Bu Fira. Bu Fira menguatkan aku dan begitupun aku, aku menguatkan Bu Fira pula.
Waktu demi waktu berjalan, aku dan Bu Fira seperti seorang anak dan ibu. Bu Fira mampu memahami aku, akupun begitu. Akhirnya, sudah tiba waktunya. Sudah tanggal 14 April, Olimpiade Biologi dimulai tanggal 16 April. Tanggal 14 April malam, aku, Bu Fira, Zefri, Yerza, dan Dani berangkat menuju Jogjakarta dengan menaiki mobil sekolah.
Akhirnya, tiba saatnya. Kini sudah tanggal 16 April, kami ke Universitas Gajah Mada. Sebelumnya, kami berdoa agar setidaknya kami bisa meraih juara pada Olimpiade Biologi ini. Olimpiade pun dimulai, Bu Fira menunggu di depan ruanganku. Perlahan, aku mulai membaca dan menjawab soal-soal yang disuguhkan. Apa yang telah diberikan Bu Fira selama membimbingku, banyak keluar dalam soal olimpiade ini. Aku pun dapat mengerjakan seluruh soal ini, walau ada yang ragu, tapi aku berusaha semampuku.
Aku keluar dari ruangan dengan wajah yang berseri, Bu Fira menatapku sambil tersenyum pula. Aku melihat seorang laki-laki yang tampan, tinggi dan putih dengan kemeja putih dan membawa sebuah tas ransel berwarna hitam di sebelah Bu Fira.
“Via, kenalkan, ini Ardi, anak Ibu.”, kata Bu Fira.
Aku dan Ardi pun saling bersalaman dan berkenalan. Aku tidak menyangka, anak Bu Fira sunggun ramah, tidak seperti Bu Fira yang dikenal cuek oleh seluruh murid di sekolahku. Zefri, Yerza, dan Dani pun menghampiri kami. Sambil menunggu pengumuman, kami makan di kantin dan bercerita tentang keadaan perlombaan tadi.
“Anak-anak, Ibu pergi dulu ke tempat kost Ardi ya, kalian tunggu pengumuman di sini. Kalau selesai, pulang saja bersama mobil dinas sekolah. Mungkin Ibu tidak ikut pulang bersama kalian ke Malang. Mungkin baru besok lusa Ibu kembali ke Malang”, kata Bu Fira.
“Ya sudah Bu, nanti kami kabari hasil perlombaanya.”, kata Zefri.
“Ok, semoga sukses ya. Daa..!!”, kata Bu Fira.
Ardiant dan Bu Fira pun pergi, meninggalkanku dan kawan-kawanku. Ketika pengumuman tiba pun, Bu Fira tidak kembali. Akhirnya, diumumkanlah pemenang dari Olimpiade Biologi tersebut.
“Juara Harapan III dimenangkan oleh Setia Purnomo dari SMAN 1 Yogyakarta. Juara Harapan II oleh Yetty Amaliyah dari SMA Semesta Semarang. Juara Harapan 1 oleh Avia Martha Levisa dari SMAN 1 Malang.”, kata panitia yang mengumumkan.
“Selamat ya Via, kamu dapat harapan satu.”, kata Zefri.
“Ya, sama-sama. Tenang aja, kamu pasti bisa dapat juara juga. Masih ada juara I, II, dan III kok. Aku yakin, diantara kamu dan kawan-kawan, pasti ada yang menang.”, kataku.
“Juara III dimenangkan oleh Reza Feriahmad dari SMAN 1 Surabaya. Juara II dimenangkan oleh Zaskia Yezra Widya dari SMAN 1 Malang. Dan, juara I dimenangkan oleh Zefri Wicaksono dari SMAN 1 Malang juga. Bagi seluruh pemenang, harap naik ke atas panggung dan menerima piagam, trophy, souvenir dan hadiah.”, kata panitia.
Aku, Yerza, dan Zefri pun naik ke panggung dan menerima hadiah. Setelah itu kami pulang kembali menuju Malang, tanpa Bu Fira. Di perjalanan, aku menelpon Bu Fira.
“Halo, Selamat sore Bu Fira.”, ucapku.
“Selamat sore Via, gimana tadi? Menang?”
“Ya Bu, Puji Tuhan, wakil dari SMAN 1 Malang bisa dapat juara. Saya juara harapan I, Yezra juara II, dan Zefri juara I.”
“Allhamdulilah ya, tetap pertahankan prestasi saja.”, kata Bu Fira.
Kata-kata Bu Fira membuatku semakin senang, karena aku yang memiliki basic biologi lemah, dilatih dan dibimbing oleh Bu Fira hingga akhirnya aku bisa menang. Walau hanya juara harapan I, tapi itu pun jadi suatu penghargaan buat aku.
Upacara bendera Hari Kartini, 21 April, di sekolahku jadi momentum bagiku dan kawan-kawan untuk memberikan piala yang kami raih di olimpiade Biologi. Namun, aku sama sekali tidak melihat Bu Fira. Padahal ini sudah 5 hari setelah perlombaan, harusnya Bu Fira sudah kembali ke Malang. Aku ingin memberikan piala ini pada Bu Fira sebagai ucapan terimakasih karena sudah membimbingku selama ini. Tapi, aku sama sekali tidak melihat Beliau, bagai ditelan bumi saja. Ideku pun, ingin bertanya pada TU.
“Ibu, Bu Fira ke mana ya? Kok tidak masuk sekolah.”, tanyaku pada pegawai TU.
“Loh, Bu Fira kan sudah meninggal? Kamu tidak tau kah? Kemarin kan sudah diumumkan.”, jawab beliau.
“Apa Bu? Meninggal? Gak mungkin Bu.”
Aku berlari menuju kelas dan menangis. Seolah tak percaya kalau Bu Fira meninggal. Terang saja aku kaget mendengar kabar tersebut, karena kemarin pun aku tidak ada di sekolah karena dispen bimbingan Biologi di Dinas Pendidikan dan sama sekali tidak ada kabar dari teman-temanku.
Pulang sekolah, aku menuju ke rumah Bu Fira, seperti biasa, rumahnya sepi. Dari jendela, ku intip ada sesosok laki-laki. Mungkin itu Ardi atau kerabat dari Bu Fira.
“Permisi.. Ada orang di dalam?”, kataku sambil mengetuk pintu.
“Ya, sebentar.”, jawab seseorang laki-laki dari dalam rumah dan membukakan pintu untukku.
“Kak Ardi?”
“Ya, kalau kamu mencari ibuku, beliau sudah meninggal, sudah ada di dalam kuburnya. Di tempat pemakaman umum desa sebelah.”, katanya.
“Jadi benar apa yang dikatakan Bu TU? Kenapa bisa?”, kataku dengan menangis.
“Sepulang dari Yogyakarta menuju Malang, kami menaiki bus umum. Kemudian bus yang kami tumpangi mengalami kecelakaan. Ibu terjepit, karena ibu duduk di pojok kiri. Ibu hanya bilang, selamatkan dirimu, jadi orang yang sukses, dan salam untukmu, Via.”, Kak Ardi menjelaskannya dengan tetesan air mata.
Begitupun aku, mendengarkan kejadian tersebut, rasanya hatiku hancur lebur. Air mataku perlahan meledak, menetes, merasakan kehilangan sosok Bu Fira yang baik hati, yang seperti ibuku sendiri, yang membimbingku hingga meraih juara olimpiade biologi.
“Ayo, kita ke makam Ibu.”, ajak Kak Ardi.
Aku mengangguk dan pergi bersamanya ke makam Bu Fira. Kami meletakkan karangan bunga melati, berwarna putih, yang melambangkan ketulusan Bu Fira. Selain itu, aku juga meletakkan pialaku di samping bunga tersebut dan juga berdoa agar arwah beliau diterima oleh Tuhan, Sang Pencipta.
Hatiku berkata, “Selamat jalan Bu Fira, pahlawanku. Trimakasih untuk bimbingannya.”

-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar