Riset diartikan sebagai
penelitian secara umum. Kata riset berasal dari Bahasa Latin, yaitu “re”, yang berarti lagi, dan ’‘cercier“, yang berarti mencari. Secara
harafiah, riset dapat dikatakan sebagai pencarian ulang terhadap sesuatu. Riset
komunikasi berarti mencari atau menemukan sesuatu yang baru dalam ranah
komunikasi. Dalam suatu riset, baik kualitatif maupun kuantitatif, diperlukan
suatu metode yang digunakan guna mendapatkan data. Salah satu metode yang
sering digunakan oleh para peneliti adalah metode wawancara.
Wawancara adalah suatu metode
pengumpulan data guna memperoleh informasi yang didapatkan langsung dari sumbernya.
Dalam Bahasa Inggris, wawancara disebut sebagai ‘‘interview“, yang berarti
percakapan antara dua orang atau lebih. Wawancara juga dapat dikatakan sebagai
perbincangan atau percakapan antara pewawancara dengan narasumber atau
responden guna menggali informasi mengenai suatu topik tertentu. Dalam
wawancara, peneliti terjun ke lapangan atau masyarakat, mengumpulkan data
dengan berbicara atau bercakap-cakap dengan masyarakat secara langsung.
Wawancara bertujuan utama untuk menggali informasi serta mendapatkan data
dari responden. Fungsi wawancara dalam riset komunikasi digolongkan menjadi 3,
yaitu sebagai metode primer, metode sekunder, dan kriterium. Wawancara sebagai
metode primer berarti wawancara dilakukan sebagai cara utama untuk mengumpulkan
data. Hal ini berarti memang metode wawancaralah yang dipilih sebagai metode
dalam menggali informasi sebagai data riset atau penelitian, walaupun ada
banyak metode lainnya yang sebenarnya dapat digunakan. Kemudian, sebagai metode
sekunder, wawancara dilakukan ketika tidak ada metode atau cara lain yang dapat
digunakan untuk memperoleh data. Hal ini berarti wawancara dilakukan karena
terpaksa, sebagai cara atau langkah satu-satunya dalam mengumpulkan data. Sedangkan,
wawancara sebagai kriterium berarti wawancara dilakukan dan digunakan sebagai
cara untuk mengoreksi kebenaran suatu kumpulan data yang telah diperoleh dari
metode lain. Dalam fungsinya sebagai kriterium, wawancara digunakan sebagai
metode akhir, yakni dalam verifikasi data, apakah data yang didapat dengan cara
metode lain tersebut sudah relevan ataukah tidak.
Berdasarkan
jumlah responden, wawancara dikelompokkan menjadi wawancara kelompok dan pribadi.
Wawancara pribadi berarti pewawancara hanya menggali informasi dari satu orang
narasumber saja. Sedangkan wawancara kelompok, berarti pewawancara menggali
informasi dari dua atau lebih narasumber secara bersamaan. Dasar dari pemilihan
jenis wawancara ini didasarkan kepada tujuan awal dari penelitian atau riset,
dalam hal ini adalah riset komunikasi. Kebanyakan peneliti menggunakan
wawancara pribadi untuk memperoleh data guna risetnya, namun wawancara pribadi
tersebut dilakukan kepada banyak responden.
Dalam
riset komunikasi yang menggunakan metode wawancara, secara umum ada tiga tahap
dalam teknik wawancara. Tiga tahap tersebut adalah tahap persiapan,
pelaksanaan, dan paska wawancara. Setiap peneliti yang menggunakan metode wawancara
guna mendapatkan data harus memahami, memperhatikan, dan melakukan ketiga
tahapan dalam teknik wawancara ini guna keefektifan dan keefisienan. Ketiga
tahap ini runtut, tidak dapat dibolak-balik atau dilewatkan satupun. Dengan
tidak melakukan ketiga tahap ini secara lengkap, maka proses wawancara tidak
akan berjalan secara lancar, efektif, dan efisien. Misalkan saja, seseorang
pewawancara atau peneliti mengabaikan tahap persiapan, maka tahap pelaksanaan
wawancara pun akan terganggu. Bisa jadi, pelaksaan wawancara akan kacau, karena
pewawancara akan blank karena tidak
mempersiapkan apapun, khususnya pertanyaan.
Pada tahap persiapan wawancara,
peneliti sebagai pewawancara, menentukan topik atau tema wawancara. Dimana dalam riset
komunikasi, topik atau tema wawancara ini ditentukan dari topik penelitian dan
data apa yang ingin didapatkan dalam wawancara untuk menunjang pelaksanaan
penelitian yang dilakukan. Setelah menentukan topik wawancara, peneliti
diharapkan memahami masalah yang akan ditanyakannya dalam wawancara sekaligus
peneliti mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumber.
Kemudian, peneliti menentukan siapa yang akan menjadi narasumbernya. Narasumber
adalah orang-orang yang berkaitan dan mengerti dengan baik mengenai permasalahan
atau topik yang diangkat. Setelah menentukan narasumber, peneliti menghubungi
narasumber dan membuat janji dengan narasumber, atau jika narasumber tidak
ditentukan secara spesifik, misalkan narasumber adalah warga di suatu desa,
peneliti dapat langsung mendatangi desa tersebut dan melakukan wawancara kepada
warga. Namun, sekali lagi, pewawancara perlu mempersiapkan topik dan pertanyaan
yang akan diajukan.
Dalam tahap penyusunan
pertanyaan dalam wawancara ini, pertanyaan dapat digolongkan menjadi pertanyaan
terbuka maupun pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka memiliki jawaban dengan
pola penjelasan, jadi narasumber menjawab pertanyaan tersebut dengan
menjelaskannya. Pertanyaan tertutup memiliki jawaban yang lebih sempit,
misalkan “ya” atau “tidak, “sudah” atau “belum”, dan sebagainya. Masing-masing
dari jenis pertanyaan tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Pertanyaan
terbuka dapat membuat narasumber bercerita dan menjelaskan tentang topik yang
dimaksud dengan sedemikian rupa. Namun, kekurangannya adalah pewawancara atau
peneliti tidak bisa mengontrol narasumber, bisa saja narasumber bertele-tele
dan menyimpang dari topik wawancara. Sedangkan pertanyaan tertutup memiliki
kelebihan yakni jawaban dari narasumber singkat, padat, namun terbatas. Dengan
mengajukan pertanyaan tertutup, sejujurnya pewawancara dapat menghemat waktu,
langsung kepada sasaran jawaban yang diinginkan oleh pewawancara atau peneliti,
dan pewawancara dapat mengontrol jalannya situasi. Namun, tidak akan terbangun
kedekatan antara pewawancara dan narasumber, selain itu biasanya pertanyaan
tertutup akan membuat responden jenuh dan jawaban yang diberikan kurang detail.
Pemilihan penggunaan jenis pertanyaan terbuka atau tertutup kembali lagi kepada
peneliti atau pewawancara, kembali disesuaikan dengan tujuan dan maksud dari
wawancara, data apa yang akan diharapkan dari wawancara, yang sekiranya
membantu pelaksanaan penelitian.
Setelah tahap persiapan,
berikutnya adalah tahap pelaksanaan. Tahap pelaksanan ini adalah tahapan dimana
peneliti bertemu dengan narasumber. Ketika bertemu dengan narasumber dan
melakukan wawancara, peneliti disarankan untuk memakai pakaian yang sopan dan
rapi, menggunakan bahasa yang komunikatif, yaitu jelas dan dapat dimengerti
oleh narasumber. Hal awal yang dilakukan oleh peneliti untuk membuka sesi
wawancara adalah perkenalan diri dan penyampaian maksud atau tujuan dari
wawancara tersebut. Peneliti juga
dapat menanyakan dan mencatat identitas dari narasumber jika diperlukan. Peneliti
juga diharapkan dapat menciptakan keakraban dengan narasumber, sehingga
narasumber dapat merasa nyaman. Kemudian, peneliti selaku pewawancara
dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan kepada narasumber. Peneliti juga
disarankan untuk merekam proses wawancara menggunakan alat perekam atau
mencatat hal-hal pokok sebagai hasil wawancara yang didapat dari jawaban
narasumber.
Kemudian, tahap yang terakhir
adalah tahap paska wawancara. Dalam tahap ini, peneliti yang telah melakukan
wawancara dan mendapatkan jawaban dari wawancara tersebut, menganalisis hasil
wawancara. Guna dari catatan atau rekaman yang digunakan saat wawancara adalah
untuk membantu dan memudahkan pewawancara atau peneliti dalam merangkum hasil
wawancara dan membuatnya menjadi data dalam riset komunikasi. Kemudian, data
tersebut diinterpretasikan dalam tahapan riset komunikasi ini.
Dalam tahapan wawancara, ada
beberapa sikap yang perlu diperhatikan oleh pewawancara, diantaranya adalah
memfokuskan diri pada lawan bicara. Dengan ini, lawan bicara, yaitu narasumber,
dapat merasa nyaman dan dihargai oleh pewawancara. Selain itu, pewawancara
fokus kepada topik pembicaraan guna menjalankan wawancara secara efektif dan
efisien. Pewawancara juga harus sabar terhadap narasumber jika narasumber
keluar dari topik pembicaraan, sebaliknya, pewawancara harus mengembalikan
pembicaraan kepada topik yang sudah ditentukan. Jika ada hal-hal kurang jelas, pewawancara dapat melakukan verifikasi
kembali. Hal ini dilakukan supaya data yang didapatkan benar-benar
valid. Volume dan intonasi suara dari pewawancara harus diperhatikan pula. Hal
ini dimaksudkan supaya narasumber nyaman dalam proses wawancara. Volume yang
kurang keras atau terlalu keras, serta intonasi yang tidak jelas dapat
mengganggu dan menurunkan efetifitas dalam proses wawancara. Setelah melakukan
proses wawancara, pewawancara juga harus mengucapkan terimakasih kepada
narasumber. Alangkah lebih baik juga jika pewawancara memberikan kompensasi
atau hadiah kepada narasumber atas informasi yang telah mereka berikan,
kesediaan, dan waktu yang mereka luangkan.
Dalam proses wawancara terkadang
juga dijumpai kesalahan interpretasi. Kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh
perbedaan presepsi dari narasumber dan pewawancara. Ketika narasumber
memberikan jawabannya, bisa saja pewawancara tidak menangkap secara total dan
jeli apa yang menjadi maksud dari narasumber. Hal ini biasanya terjadi ketika
pewawancara menanyakan pertanyaan terbuka dan narasumber menjawabnya lebih dari
satu ide pokok. Kesalahan lain dapat disebabkan karena pengajuan pertanyaan
tambahan oleh pewawancara atau peneliti dalam suatu riset karena
“mempertanyakan” maksud dari jawaban narasumber sebelumnya sehingga pembicaraan
menjadi tidak terkontrol dan meluap ke topik lain. Selain itu, kesalahan juga
dapat disebabkan karena responden yang tidak kompeten. Responden yang tidak
kompeten maksudnya adalah responden yang asal jawab, menjawab dengan tidak
benar dan tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Jika pewawancara atau
peneliti menemui responden yang demikian, alangkah lebih baik jika pewawancara
mengakhiri proses wawancara. Kesalahan-kesalahan dalam proses wawancara
sebaiknya diminimalisir dan dihindari, sebab kesalahan-kesalahan pasti akan
berdampak dan mengganggu proses berjalannya riset komunikasi.
Wawancara adalah salah satu
metode yang dapat dilakukan guna pengumpulkan data dalam suatu riset. Ada
banyak hal yang perlu diperhatikan dalam proses wawancara. Pewawancara yang
baik hendaknya memperhatikan etika wawancara, sehingga proses wawancara dan
pengumpulan informasi dapat berjalan sesuai dengan keinginan yang diharapkan
dan tujuan dari riset komunikasipun dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono,
Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset
Komunikasi. Malang: Kencana Prenada Media Group.
Hadi, Ido Priyono. 2001. Wawancara. http://faculty.petra.ac.id/ido/courses/11_wawancara.pdf. Di akses tanggal 7 Desember 2015
Indrawati., Damayanti, Lira Fesia. 2010. Psikodiagnostik III : Interview. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195010101980022.SITI_WURYAN_INDRAWATI/PD3_wawancara.pdf. Diakses tanggal 7 Desember 2015.
Farouk.2004. Praktik
Ilmu Komunikasi. Teraju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar