Di suatu sekolah di
Jakarta, ada seorang anak lelaki, sebut saja Markus. Markus adalah anak
pindahan dari Jayapura. Sudah satu tahun Markus pindah ke Jakarta, namun bahasa
yang ia gunakan masih saja Bahasa Indonesia baku dengan logat Papua asli, tanpa
terkontaminasi bahasa gaul ala Jakarta. Hal ini membuat Markus terasing dari
pergaulan dengan teman-teman kelasnya. Saat ada kerja kelompok, Markus tidak
mendapatkan kelompok. Dengan komunikasinya yang kaku, ditambah dengan kulit
Markus yang hitam dan rambutnya yang keriting, itu menambah keanehan Markus dan
membuat Markus semakin dikucilkan dan menjadi bahan ejekan teman-temannya.
Sampai suatu kali,
guru BK yang mengamati Markus, memanggilnya ke ruang BK. Di ruang tersebut,
guru BK menjelaskan apa maksud beliau memanggil Markus, yakni untuk mengetahui
tanggapan Markus terhadap teman-teman kelasnya, yang mengucilkan dan
menjadikannya sebagai bahan ejekan. Di situ pula, guru BK menanyainya, apakah
ia tidak ingin untuk dapat lebih bergaul dengan teman-temannya, dengan cara
mulai berkomunikasi dengan bahasa sehari-hari, bahasa gaul ibukota.
Namun, alangkah terpikaunya
guru BK ketika mendengar jawaban dari Markus, yang mengatakan, “Maaf Ibu, ini
keadaan diri beta yang sebenarnya. Beta dari Papua, cara omong beta juga
khas Papua. Beta anak Indonesia, bahasa beta juga Bahasa Indonesia. Biarlah kawan-kawan beta mengucilkan beta,
beta hanya mau jadi diri sendiri. Beta cinta Indonesia, biarlah beta
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Indonesia ini bhineka
tunggal ika, Ibu, biar hitam dan keriting begini, beta tetap anak Indonesia“.
Di
jaman modern seperti ini, generasi muda seringkali membuat dan menggunakan
bahasa-bahasa baru yang aneh, namun selalu menjadi tren, yang diikuti oleh
generasi muda. Generasi muda yang tidak mengikuti atau tidak menggunakan
bahasa-bahasa baru tersebut dianggap aneh, kurang pergaulan, kuno dan
lain-lain. Bahasa-bahasa seperti “kepo”, “kudet”, “sita”, “elo”, “gue”, dan
sebagiannya, tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun menjadi
tren bagi para remaja. Sedangkan kata-kata seperti “kudeta”, “ekstensi”, “degenerasi”,
dan lain-lain, yang justru terdapat dalam KBBI,malah tidak dimengerti.
Tidak
hanya itu, generasi yang berbahasa Indonesia dengan benar, secara formal dan
sesuai kaidah EYD, malah dikucilkan dan dianggap “sok pintar”. Padahal, negara
kita adalah negara Indonesia, yang memiliki berbagai suku dan bahasa daerah,
namun kita memiliki bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Seharusnya, bahasa
Indonesia menjadi bahasa utama kita,berbahasa dengan baik dan benar, bukan
hanya berbicara dengan bahasa gaul yang katanya keren, namun tak karuan, yang
malah menyimpang bahkan meninggalkan bahasa Indonesia yang sebenarnya.
Jadi,
sebagai generasi muda, marilah kita melestarikan bahasa Indonesia. Sebaiknya
sebagai generasi muda jangan sampai malu menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan benar yang sesuai EYD. Karena bahasa Indonesia merupakan bahasa
persatuan kita, dan bahasa ini merupakan identitas bangsa kita. Jika kita terus menggunakan bahasa gaul, maka
kita akan kehilangan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Jangan sampai itu terjadi karena kita sendiri.