Senin
pagi, aku tiba di rumah kost, seperti biasa, setelah pulang kampung, aku
kembali lagi ke kost, rumah keduaku, saat aku menjalani aktifitas sekolahku.
Kost yang biasanya sepi oleh karena kesibukan masing-masing siswi penghuni
kost, saat ini sedikit diramaikan oleh suara kucing. Seekor kucing yang
berkalungkan gelang warna pink, yang cukup manis, yang manja, entah darimana
asalnya, namun kucing ini jinak, nampaknya dibuang oleh pemiliknya yang lama.
Setiap
aku dan teman-teman pulang sekolah, kucing ini selalu mengeong, seolah-olah
meminta makan, namun kami hanyalah anak kost, yang memiliki uang saku terbatas,
yang tidak bisa membelikan kucing ini ikan untuk ia makan. Alhasil, hanya nasi
putih dan sisa-sisa lauk kami saja yang kami berikan sebagai makanan si meong.
Minggu
pertama si meong berada di kost kami, ia sedikit nakal, dengan menganggu kami
saat kami menyetrika, saat kami mencuci pakaian, saat kami makan, dan saat kami
melakukan apapun. Ketika pintu kamar kami terbuka, si meong juga masuk tanpa
permisi, ia masuk sampai naik ke tempat tidur kami, itu cukup menjengkelkan,
karena mengotori lantai kamar terlebih tempat tidur kami. Sehingga, kami harus mengusirnya keluar dari kamar
kami secara paksa.
Minggu
kedua si meong berada di kost, ia menjadi bertambah nakal, setiap kali kami
sedang makan di meja makan, ia ikut naik ke atas meja makan, seolah ingin
bergabung makan dengan kami. Hal itu membuat kami bertambah jengkel. Akhirnya,
setiap kali kami makan, kami makan di luar, di warung, kalaupun kami makan di
kost, kami akan makan di kamar kami masing-masing dengan pintu yang tertutup,
sehingga si meong tidak akan masuk dan tidak akan mengganggu kami yang sedang
makan. Si meong duduk di depan pintu kamar kami, seolah menunggu datangnya
makanan sisa.
Minggu
ketiga si meong berada di kost, ia menjadi sedikit pendiam, kenakalannya
berkurang, terbukti ketika pintu kamar kami terbuka lebar, ia tidak berani
melangkahkan kakinya untuk masuk. Namun soal makanan, setiap aku pulang
sekolah, tetap saja ia masih mengeong minta makan, eongannya membuat aku iba
dan ingin memberi makannya. Namun, minggu ketiga ini, meong dalam masalah
besar, karena si pemilik kost merasa jengkel dengan sikap meong yang
mencakar-cakar keset dan alas kaki, sehingga sedikit merusak struktur keset dan
alas kaki dan meong yang selalu mengacak-acak sampah sehingga sampah jatuh
berserakan.
Di
akhir minggu ketiga inilah, meong berpisah dengan kost kami. Bukan keinginan
hati meong untuk berpisah, namun keinginan para penghuni kost. Kehadiran meong
dianggap sebuah hal yang mempersulit kegiatan kami selama di kost. Ketika aku
mau pulang kampung, sebuah ijin terlontar dari mulutku kepada pemilik kost,
agar aku dapat membawa meong dan menurunkannya di tengah-tengah perjalanan
pulang. Pemilik kost mengijinkannya, asal saja aku menurunkannya di dekat
warung, sehingga si meong pun bisa hidup lebih baik daripada di kost an.
Sebuah
karung bekas pupuk menjadi wadah si meong untuk sementara, si meong kumasukkan
ke dalam karung itu. Awalnya, tangisan dan permohonan meong untuk keluar
terdengar terus-menerus lewat suara eongan dan erangannya. Malang, sungguh
malang, hati kasihan, namun ini yang terbaik, bahwa meong harus dibawa pergi
jauh dari kost an. Dalam perjalanan, awalnya si meong memberontak dan ingin
cepat-cepat keluar dari karung, namun lambat laun, si meong pasrah, tidak ada
lagi eong an atau tingkahnya untuk memberontak.
Setibanya
di sebuah pasar pinggir jalan raya, sepeda motor yang aku naiki, ku arahkan
masuk ke dalam pasar itu dan karung berisikan si meong itu ku turunkan dan kutinggalkan. Dari
spion terlihat ia mulai keluar dari karung dan kepalanya menengok ke kanan dan
ke kiri, bingung ia berada di mana. Selamat tinggal meong, hiduplah dengan baik
di pasar itu.